Senin, 29 September 2008

Islam tak Mengajarkan Kekerasan

Benturan peradaban Barat dan Timur bisa menciptakan energi positif. Saling tahu dan saling belajar. Negatifnya, malah menciptakan sentimen agama.

Di Indonesia benturan peradaban berbuah manis sekaligus getir. Ketika bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan teknologi, justru muncul gerakan anti Barat. Anehnya, bila diperhatikan, gerakan itu justru memberikan stigma negatif dalam relasi agama-agama. ”Realitasnya, banyak tindakan yang bisa diidentifikasi sebagai gerakan anti-Barat yang kenyataannya adalah antiagama lain,” kata Prof Dr Nur Syam MSi, Sosiolog IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Akhir-akhir ini, juga terdapat perkembangan menarik dari kehidupan sosial, politik, dan agama pada masyarakat Indonesia. Dulu, masyarakat ini dikenal dengan budayanya yang adiluhung dan mengedepankan kerukunan, harmoni, dan selamat. Inti filsafat hidup tersebut kurang terlihat dalam praktik kehidupan masyarakat. Banyak konflik horizontal yang terjadi di mana-mana. Konflik antarsuku, desa, politik, dan agama terjadi di banyak wilayah.

Realitas empiris tersebut membenarkan berbagai survei yang mengeksplorasi tentang kecenderungan kekerasan di negeri ini. Berdasar survei bahwa 61,4 persen setuju untuk memerangi orang nonmuslim, 49 persen setuju membela perang dengan nonmuslim, 47 persen setuju pelarangan Ahmadiyah, 20 persen setuju dengan bom Bali, dan 18 persen setuju perusakan gereja.

Ketika Anda membaca data itu, terdapat pertanyaan besar, benarkah tabiat masyarakat Indonesia yang sarat kelemahlembutan, kesopanan, dan penghargaan kepada yang lain sudah berubah sedemikian drastis?

Betapa besar angka 61,4 pesen untuk menyetujui memerangi orang nonmuslim dan betapa mengagetkan angka 20 persen yang menyetujui bom Bali dan 18 persen setuju perusakan gereja. “Marilah angka-angka itu kita baca dengan hati nurani. Sebab, agama berurusan dengan hati nurani. Ketika mau memutuskan sesuatu, yang paling urgen adalah bertanya kepada hati nurani. Melalui hati nurani, sekurang-kurangnya akan dapat dinyatakan bahwa merusak, menghancurkan, dan membunuh bukanlah tabiat ajaran agama mana pun,” Kata Nur Syam. Bahkan, menurutnya, Nabi Muhammad SAW selalu mewanti-wanti agar dalam peperangan sekalipun, jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang-orang yang lemah, merusak tempat tinggal, dan tempat ibadah.

Pemeluk agama apa pun menginginkan kedamaian, bukan konflik. Kedamaian adalah inti agama. Islam juga bermakna kedamaian. Karena itu, ketika seseorang beragama tetapi di dalam hatinya terdapat kecenderungan untuk melakukan kekerasan, dia telah terjauhkan dari pesan agama untuk memakmurkan kemanusiaan. Teologi agama apa pun pasti membenarkan agamanya sendiri. Namun, jangan dilupakan bahwa manusia hidup dengan manusia lain yang memiliki pilihan-pilihan keyakinan di dalam kehidupannya. Maka, memberikan tempat lain untuk hidup adalah sebuah kewajiban. Ada sebuah kesepakatan pro-eksistensi, bukan hanya co-eksistensi.

Pada akhir-akhir ini, banyak tindakan untuk merusak, menghancurkan, dan membumihanguskan apa saja yang dianggap berlainan. Masdar Farid Mas’udi, pengamat sosial, berpendapat agar bangsa Indonesia menghentikan berbagai macam kekerasan atas nama ”kesesatan” dan ”pengafiran”. Tindakan seperti itu justru akan menghasilkan pandangan buruk yang tidak menguntungkan Islam sebagai agama yang mengusung jargon rahmatan lil’alamin. Jadi, meski kehidupan ini terasa menyesakkan, tetap masih ada ruang untuk saling berbagi. (Sumber: Nuansa Online)

Tidak ada komentar: